Sengsara atau Menyengsarakan??

12:44:00 AM

Sepasang kalimat yang mungkin mempunyai arti yang kontradiktif, aktif dan pasif. Ya, dua kata yang mempunyai makna yang sungguh berseberangan. Menyakitkan atau menyenangkan.

Sakit atau senang? Mungkin hampir setiap orang memilih dirinya ingin senang daripada sakit. Ya iyalah, mana ada orang menginginkan dirinya tersiksa. Setiap orang pasti menginginkan kebahagiaan dalam dirinya. Namun saya yakin hampir setiap orang juga pernah merasakan kedua hal tersebut. Merasa sakit dan merasa senang. Pasti. Mau bukti?? Baca QS 94: ayat 5-6.

Kembali pada sengsara atau menyengsarakan. Beberapa hari silam, telah terjadi peristiwa berkaitan dengan sepasang kata tersebut. Kebetulan saya jadi saksi bisu peristiwa itu. Peristiwa yang mungkin rutin terjadi setiap minggunya. Apalagi menjelang musim-musim liburan dan lebaran. Saya namakan peristiwa tersebut "berdesak-desakkan di kereta".  Bermula pada jum'at malam yang terus berlanjut hingga sabtu pagi. Kereta api kelas ekonomi "Kahuripan" dengan trayek Padalarang-Kediri merupakan tempat terjadinya peristiwa sengsara atau menyengsarakan. Betapa tidak?


Berawal dari keberangkatan saya dari Stasiun Kiara Condong Bandung. Benar dugaan saya kalau kereta ini akan penuh. Tiket saya saja bertuliskan "tanpa tempat duduk". Berarti setidaknya kalau toh saya bisa duduk (di kursi kereta bukan lesehan), saya telah merebut hak orang lain. Buang jauh-jauh fikiran tersebut, yang penting bisa naik kereta dan sampai di kota tujuan, Jogja tercinta. Bukan begitu?

Nah lo, baru lihat satu gerbong saja, kebetulan ketika itu gerbong nomor 3, sudah berjubel ratusan orang memenuhi gerbong tersebut. Termasuk saya yang sedang kebingungan mau menghuni di gerbong berapa. Untuk jalan dari gerbong satu ke gerbong lain saja susah minta ampun. Nggak usah jalan, bernafas saja susah (hahaha.. lebay..). Mana barang bawaan saya berat pula. Dan tanpa berfikir panjang saya putuskan untuk tetap berada di gerbong ini. Berdiri di ujung gerbong dengan muka sedikit gembira karena tidak hanya saya yang berdiri. hahaha (Astaghfirullah, gembira diatas penderitaan orang lain).

Situasi gerbong 3 ketika itu mungkin hampir sama dengan situasi di gerbong-gerbong lain. Banyak orang, itu sudah biasa ya. Yang luar biasa adalah orang-orangnya. Kebanyakan orang sibuk mencari tempat duduk (baca: kursi). Orang-orang yang mempunyai tiket bertempat duduk sibuk memperjuangkan haknya. Yang tiketnya tidak bertempat duduk ya hanya pasrah saja menunggu kursi-kursi kosong. Ada juga yang langsung nylonong duduk saja. Nanti baru kalau ada yang punya tempat duduknya langsung beranjak. Yah, bisa dibanyangkan sendiri lah seperti apa kondisinya.

Sengsara? Menyengsarakan? mungkin kata yang cocok untuk membayangkan bagaimana kondisi orang-orang di atas kereta Kahuripan tersebut. Khususnya bagi orang-orang yang tiketnya tidak bertempat duduk. Walaupun memang kondisi seperti ini sudah umum dilihat, tapi tetep aja, yang namanya berdiri dan berdesak-desakkan itu bukan kondisi umum sehari-hari setiap orang. Right?

Betapa tidak, gerbong kereta yang kursinya hanya muat sekitar 60 orang dipenuhi oleh ratusan orang. Lalu sisanya mau duduk dimana? Jawabanya ya nggak duduk, atau duduk lesehan beralaskan seadanya di bawah. Ironisnya, duduk lesehan pun susah. ckckck.. hampir tidak bisa diharapkan lagi. Sengsara, itulah kata yang tepat untuk melukiskan nasib mereka. Sudah ironis, ada yang lebih mengironiskan lagi. Menyengsarakan orang lain. Siapa? ya mereka. Kenapa?

Dalam kondisi seperti itu saya seperti melihat orang sudah dibutakan oleh kenikmatan dunia. Kenikmatan mendapatkan tempat yang nyaman di kereta yang melaju dari kota Bandung tersebut. Manusia yang fitrahnya adalah makhluk individu, memperlihatkan sifat asli mereka, individual atau mementingkan diri sendiri. Asal dirinya nyaman di kereta tersebut sampai kota tujuan tidak peduli yang lain nyaman atau tidak mereka lakukan apa saja. Tidak tua tidak muda sama saja. Orang yang sudah sengsara, ditambah pula disengsarakan oleh orang-orang yang menyengsarakan mereka. Tidak usah dibayangkan. Mending mensyukuri keadaan aja.

Mungkin sudah biasa ya, orang dalam kondisi seperti itu dia akan mengeluarkan jurus terlarangnya menjadi orang yang individualis. Bisa dibilang itu adalah efek dari "the power of kepepet" yang negatif. Tapi bukankah setiap permasalahan pasti ada hikmahnya? Akibatnya setiap permasalah juga pasti punya sisi positifnya toh??. Sejelek-jeleknya keadaan pasti ada keuntungannya. Nggak percaya kan? Mungkin ini yang belum difahami oleh sebagian besar penumpang dengan tiket "tak bertempat duduk" tersebut.

Astaghfirullah. Dari tadi ngrasani orang terus. Gapapa, demi sebuah perbaikan.
Namun diantara seabrek orang-orang yang seperti itu yang saya ketahui setidaknya ada dua orang yang sama sekali tidak mengeluarkan efek negatif. Kedua orang tersebut sama sekali tidak menunjukkan betapa liarnya sikap individualisme yang orang lain bangga-banggakan itu. Siapa mereka? Tidak lain dan tidak bukan adalah saya sendiri dan satu orang disamping saya. (Ini bukan berarti saya memuji dan menyombongkan diri sendiri ya, sekali lagi ini demi perbaikan). Orang tersebut adalah seorang mahasiswa salah satu PTN terkemuka di Bandung yang ternyata lebih muda daripada saya. Halah, mau nyebut ITB aja susah amat.. Sebut saja Mas X.

Mungkin kami berdua menyadari betapa tidak ada untungnya mengeluarkan efek-efek negatif yang timbul karena hal seperti ini saja. Jadi ya, mending menjadi yang biasa-biasa saja, bahkan kalaupun diberikan kesempatan, mending menunjukkan efek yang positif darinya. Beda halnya dengan yang lain, kedua orang ini kalem-kalem saja di dalam gerbong kereta. Malah ada yang tertawa-tertawa sendiri. Bukankah diam adalah emas? Ya, mungkin peribahasa itu tepat dalam kondisi yang seperti itu. Daripada semakin merunyamkan keadaan. Sebenarnya saya sangat salut dengan kehebatan Mas X. Sehingga saya iri dengannya dan mungkin sesekali saya meniru kehebatannya.

Diam berdiri diantara puluhan orang yang duduk, itulah yang kami lakukan sepanjang perjalanan. Perlu dicatat, sepanjang perjalanan (walaupun sesekali mencuri-curi waktu untuk duduk lesehan untuk merelakasasi kedua kaki), saya ulangi, di sepanjang perjalanan. Sambil berdiri kebetulan saya membawa buku yang baru dibeli siangnya sehingga bisa nyambi dengan membaca buku tersebut. Dan mungkin ini adalah hikmah dari segala permasalahan yang timbul ketika itu. Kenapa?

Pertama, karena saya yakin selain saya, dan selain kami berdua, pasti ada orang lain yang bernasib sama seperti saya di waktu yang sama. Setidaknya di kereta yang sama. Bahkan mungkin ada yang bernasib lebih buruk dari saya. Bersusah payah di dalam kereta hanya untuk mencapai kota tujuan. Inilah kalau yang dalam ilmu Matematika disebut sebagai Archimedean properties atau sifat Archimedes. Setiap bilangan real pasti terdapat bilangan asli n dengan n lebih besar dari bilangan tersebut.

Kedua, masih berkaitan dengan Archimedean properties, karena saya yakin apa yang saya rasakan ketika itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan nasib orang-orang yang kurang beruntung di luar sana. Kebetulan ketika itu sedang heboh-hebohnya peristiwa meletusnya gunung Merapi. Jadi untuk apa mengeluh. Buang-buang energi saja.

Ketiga, karena saya yakin melakukan perbuatan yang merugikan orang lain justru akan merugikan diri sendiri. Pasti tau hukum kekalan energi kan, aksi = - reaksi. Jadi, siapa yang mau dirinya sendiri dirugikan. Tidak tanggung-tanggung lagi, yang merugikan itu diri sendiri. ckckckck

Terakhir, karena saya yakin dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Dibalik kesengsaraan pasti ada kenikmatan. Tinggal menunggu waktu saja sebenarnya. Lebih tepatnya asal saya bisa menyelesaikannya, a happy ending menanti saya di sana. Siapa yang gak mau happy ending coba?

Pada akhirnya, sebenarnya hanya ada dua kunci untuk melakukan itu semua. Bersyukur dan bersabarlah. Bersyukur toh masih diberikan kesempatan untuk naik kereta Kahuripan sehingga nanti insyaAllah akan diantarkan sampai tujuan. Bersyukur karena ternyata ada yang lebih tidak beruntung nasibnya. Bersyukur karena masih diberi kekuatan dan kesempatan untuk berdiri. Lha kalau gak diberi kekuatan dan kesempatan untuk berdiri, mau ngapain lagi? Bersabar karena sesungguhnya setelah kesabaran ada kenikmatan. Bersabar selagi masih diberi kekuatan untuk bersabar. Bersabar karena Allah bersama orang-orang yang sabar. Bersabar karena tidak ada gunanya untuk tidak bersabar (Saya tantang ada yang bisa memberikan manfaat dari orang tidak sabaran?). Bersabar karena sabar tidak ada batasnya.

Ya, mungkin itulah efek-efek positif yang seharusnya ditimbulkan. Kebanyakan orang belum menyadari akan hal tersebut. Coba bisa lebih sedikit disadari, saya yakin tidak ada lagi kata sengsara dan menyengsarakan. Ya kalaupun tidak bisa menghilangkan semuanya, setidaknya tidak ada lagi kata menyengsarakan. Berfikir positif lah, karena tidak ada yang lebih positif daripada positivity. Right?

You Might Also Like

0 comments