Sekali Lagi, Bukan Kurikulum!

9:26:00 PM

Sore tadi, 16 Maret 2013, cukup menyenangkan juga diberi kesempatan buat belajar lebih. Berawal tadi siang selepas agenda named "meeting" persiapan event minggu depan, saya dapet amanah buat menghadiri, entah waktu itu tidak jelas apa nama acaranya, sejenis seminar. Tadinya gak ada rencana, cuman karena si Ibu yang diundang berhalangan hadir, dilimpahkan ke fasilitator lain aja, saya lah yang ketiban.

Singkat cerita, persis sebelum Ashar berangkat ke Villa Dago Pamulang Blok B22/01 untuk menghadiri tu acara. Karena jaraknya tidak terlalu jauh dari Ilma, 10 menit saja sampailah di tempat tujuan. Pertama nglihat tempatnya, agak heran sih, masuk kompleks perumahan soalnya. Masa iya seminar diadain di perumahan begini? Tapi pas masuk Blok B22/01 itu, wow, luas betul tanahnya. Ada halaman, ada kebun, dan sebuah bangunan rumah dengan living room yang sampai-sampai bisa dipakai buat acara seminar. Sugoi lah pokoknya. Gak nyangka acaranya bakal diadain di tempat kayak gitu. Telusur punya telusur itu tempat namanya LEAP Indonesia.

Sambil nunggu waktu Ashar tiba dan seminarnya juga belum mulai, keliling bentar di dalam dan di sekitar rumah itu. Kalau dilihat-lihat ini semacam sanggar, ada galeri anak-anaknya. Ada tempat buat gathering lesehan juga. Sementara di luar rumah, macem-macem tumbuhan ada di kebunnya. Sejuk, berasa bukan lagi di kota yang crowded. Sudah tiba waktu sholat, selesai sholat, duduk-duduk di kursi peserta. Yang datang masih dikit, ya mungkin belum semuanya kali yah.

Gak lama kemudian sepertinya si keynote speakernya datang. Wuih, ibu-ibu, dan bule! Seminar pun dibuka oleh MC. Dari situ akhirnya saya tau persis acara apaan ini. Science Workshop, dengan tema "Science Assessment and Teaching System in German". Intinya sejenis workshop atau seminar tentang sistem pendidikan sains di Jerman. Konon, si ibu pembicara itu adalah seorang guru senior di sebuah high school di Jerman sana, yang sekarang menjadi utusan semacam Kemendikbudnya Jerman untuk datang ke Indonesia dengan tujuan mencari dan menyampaikan ilmu tentang pendidikan sains. Menarik? Banget! Lebih menariknya lagi, ibu pembicaranya pakai English! Telinga sama otak kudu sinkron nih, denger dan taerjemahin dalam satu waktu!

Pesan yang ingin si ibu pembicara (namanya lupa siapa, hehe) sih intinya, di Jerman, untuk pembelajaran pendidikan sainsnya menggunakan sistem "3 requirement area". Dimana sistem tersebut sering digunakan si pembicara ketika beliau masih melanglang buana menjadi pendidik sains di Jerman. Sistem "3 requirement area" ini bertingkat setiap areanya, semakin tinggi area, semakin tinggi levelnya. Sejatinya "3 requirement area" ini mungkin tidak asing lagi di Indonesia, karena tidak jauh beda dengan yang disistemkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Hanya saja beda pada istilah dan IMPLEMENTASI! Eh, itu bukan karena caps lock jebol ya, emang sengaja! =P

Rincian"3 requirement area" singkatnya adalah sebagai berikut:
  • Area I: Area dengan level paling mudah berisi tentang pengetahuan-pengetahuan dasar yang text book based banget. Seperti pengertian dasar, sifat-sifat dasar, beserta gejala-gejalanya. (Contoh: Pengertian gaya, macam-macam gaya, sifat-sifat gaya dan sebagainya). Intinya, kalau belum menguasai area ini, siswa akan kesulitan dalam mencerna pelajaran sainsnya. Apalagi untuk ke level yang berikutnya. Jadi, menguasai area ini mejadi harga mutlak bagi para siswa.
  • Area II: Area dengan level mudah, namun berisi pengetahuan-pengetahuan yang jarang dimuat dalam text book, walaupun mungkin ada juga buku-buku teks yang memuat tentang isi dari Area II ini. Isi Area II ini mungkin lebih kepada aplikasi, namun sangat mudah untuk diteliti dengan menggunakan pengetahuan dasar yang ada di Area I. (Contoh: Gaya apa saja yang bekerja ketika kita melemparkan koin ke laut? ; Bagaimana yang terjadi dengan koin? ; Mengapa koin tenggelam ke laut?) Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat mudah di jawab jika siswa mengerti dasar dari gaya. Pada area ini mungkin siswa sering mengalaminya dalam kegiatan sehari-hari, namun di sini, siswa diajak untuk berfikir bagaimana peristiwa tersebut terjadi.
  • Area III, area yang paling tinggi levelnya. Yap, area ini berisi dengan pengetahuan-pengetahuan yang belum pernah si siswa jumpai. Berisi studi-studi kasus, atau problem solving yang tingkat kesulitannya paling tinggi. Pada area ini siswa benar-benar dituntut untuk berfikir kritis dan kreatif, tentunya dalam memecahkan suatu permasalahan. (Contoh: Mengapa kapal tidak tenggelam walaupun terbuat dari besi, baja dan bahan-bahan yang berat lainnya? Bagaimana prosesnya sehingga kapal tidak tenggelam)
Begitulah kira-kira 3 area yang digunakan sistem pendidikan sains di Jerman. Tiga area tersebut selalu diterapkan baik ketika pelajaran maupun ketika ujian atau tes. Dan tentunya setiap area punya bobot nilai tersendiri.

Satu hal positif yang mencolok dalam sistem assesmen seperti ini adalah para pengajar sains benar-benar dituntut untuk mengerti akan materi yang akan disampaikan. Bahkan materi-materi yang tidak ada dalam buku teks. Ianya kudu update tentang ilmu sains, tentunya yang berkaitan dengan materi dasar yang akan di sampaikan kepada siswa. Kalau tidak, maka ia akan kesulitan ketika berusaha untuk menjelaskan atau bahkan mencari pertanyaan yang digunakan pada area 3. 

Berkaca dengan sistem pendidikan kita, sebenarnya sistem assesmen di atas tidak jauh beda atau sering kita jumpai di sekolah-sekolah di Indonesia. Bedanya adalah sistem assesmen di atas lebih memungkinkan untuk lebih bisa diterapkan oleh pengajar manapun. Jelas, terarah dan implementatif. Beda dengan sistem kita yang hanya mensunahkan pengetahuan-pengetahuan di luar buku teks. Paling hanya siswa yang rajin atau yang kiyeng aja buat cari tahu tentang pengetahuan-pengetahuan tambahan tersebut. Sehingga, siswa kurang kritis dan lambat dalam berkembang.

Mungkin kurikulum di Indonesia pun telah membuat kompetensi-kompetensi dasar seperti itu. Tapi kenyataannya di lapangan, sang Guru tetep mengajarnya yang gitu-gitu aja. Yang entah itu pengajarsentris lah, yang monotonsentris lah, atau yang staknansentris. Ya semua itu karena di Indonesia lebih suka ngublek-ngublek draft daripada memaksimalkan implementasi! Kasarnya miskin implementasi! Sudah begitu, suka gonta ganti kurikulum pula. Kurikulum yang satu aja belum semuanya bisa diimplementasikan, udah ganti aja. Itu ibarat kita beli motor baru, sekali isi bensin terus abis bensinnya, ganti motor baru lagi.

Sudah sudah, tidak ada gunanya memaki-maki keadaan. Hanya bisa memberikan saran, bahwa sesuatu itu harus dikerjakan seutuhnya, jangan setengah-setengah atau malah sepersepuluh-sepersepuluh. "Fa idzaa farohgta fanshob", jika sudah selesai satu urusan, baru lanjut urusan yang lain. Sungguh, doyan mengganti kurikulum bukanlah solusi terbaik, yang terbaik adalah dengan kurikulum seadanya, bagaimana bisa mencapai output yang terbaik. Caranya? Banyak! Guru lebih membutuhkan proses untuk memahamkan dirinya tentang suatu kurikulum, dari pada disuruh untuk ganti kurikulum. 

Sering-sering aja bikin pelatihan-pelatihan, kayak seminar di atas itu. Sesuatu yang hands on akan lebih mudah difahami daripada hanya brains on. Orang gak akan hafal jalan kalau dia belum kesasar. Orang gak akan enak bikin kuenya, kalau kuenya belum bantat. Dan orang gak akan mahir sesuatu, kalau belum latihan. Sudah jelas yang seperti itu akan memberikan efek positif, khususnya bagi para guru atau pengajar. Dan yang paling penting adalah, banyak hal yang tidak bisa orang dapatkan dari hanya sekedar membaca buku dalam pelatihan. Kalau pelatihan bisa mengupas semua 5W1H, kalau hanya membaca cuman tau 1W (what) aja. 

Semoga bermanfaat, dan semoga lebih banyak dapat kesempatan untuk ikut pelatihan. Keep hands on! Ora et labora!

You Might Also Like

0 comments