Satu lagi, bagi pecinta kuliner khususnya di kawasan Jogja dan sekitarnya tentunya menginginkan sesuatu yang baru dari cita rasa masakan yang akan disantap. Yang satu ini mungkin salah satunya. Begitu khas, enak, dan lain dari pada yang lain pastinya. Bagi yang sudah lama menetap di Jogja mungkin sudah tidak asing lagi dengan makanan yang menggunakan daging sebagai bahan utama ini.
Sate sapi. Begitulah Pak Prapto sebagai pemilik usaha ini menyebut produknya. Dari namanya mungkin akan terlihat standar-standar saja. Tapi cukup menarik juga karena biasanya bahan yang digunakan untuk masakan sate adalah daging kambing atau ayam. Berbeda dengan yang satu ini, yaitu dengan menggunakan daging sapi, yang konon sudah banyak orang (termasuk saya) yang mencoba nyate dengan menggunakan daging sapi namun hasilnya tidak karuan. Sate sapi pak Prapto ini ternyata telah mengubah paradigma saya akan ketidakkaruan akan sate sapi ini. Sangat amat super ultra berbeda sekali. Hehehe..
Awalnya saya diajak sepupu saya yang kebetulan sedang melancong ke Jogja untuk mencoba sate sapi ini. Wah, baru dengar saya. Emang enak? Begitulah kalimat yang pertama kali saya lontarkan. Yah, yang namanya saya, kalau sudah penasaran mana bisa ditahan. Ketika itu sepupu saya pun tak tahu lokasi si penjual sate itu, apalagi saya. Hehe. Akhirnya dengan bermodalkan modem superlemot saya searching di mbah google. Ketemulah yang namanya “Sate Sapi Lapangan Karang” atau sering disebut “Sate Karang”. Lokasinya ya di Lapangan Karang. Tepatnya di Jalan Nyi Pembayun, Kota Gede, Yogyakarta. Sempat kesulitan mencari lokasi, akhirnya ketemu juga. Malam itu saya dan sepupu saya langsung menuju lokasi dengan bermodalkan mulut (untuk bertanya dimana lokasinya dan yang pasti, untuk makan..hehe..).
Berkat panduan dari tukang becak setempat, tidak sampai setengah jam, sampailah di lokasi tujuan. Kata pertama yang keluar dari mulut saya, luar. Kata kedua biasa. Jadi luar biasa. (Hehe.. nggak penting ya). Betapa tidak, serame itu. Usaha yang hanya bermodalkan tiga buah gerobak dan beberapa tikar yang tergelar di sekitar gerobak dengan sebuah tenda lumayan besar bisa menghipnotis orang sebanyak itu. Sederhana tapi istimewa.
Yah, tak sabar lagi kami pun memesan masakan khas tersebut. “Masih, tapi ngantri banyak banget”. Jawab si penjual (pak praptonya kayaknya) setelah dilontarkan pertanyaan oleh sepupu saya. Kami pun mau tidak mau harus menunggunya. Yah, demi sesuatu yang baru, bersensasi pula, apa sih yang nggak. Cukup lama menunggu, datanglah tiga piring hidangan utama malam itu. Dua piring ketupat yang diberi sayur, dan satu piring sate sapi yang sudah dinanti-nanti kehadirannya. Dan, betul-betul luar biasa. Enak, enak, enak.
Mari kita analisis satu persatu kelezatannya. Sang ketupat sayurnya, atau lebih kerennya lontong sayur, mungkin tidak beda dengan lontong-lontong yang sering kita jumpai di pinggir-pinggir jalan. Beberapa iris lontong dengan kuah berwarna kuning, ditambah dengan irisan-irisan tempe yang sudah dimasak dengan kuahnya. Namun sedikit beda rasanya, aneh dan bahkan mungkin malah lebih gurih lontong sayur yang biasa kita jumpai. Yang satu ini sedikit tidak berasa bumbunya (karena konon bumbunya seadanya saja). Entah kenapa, namun sepertinya memang sengaja dibuat seperti ini. Dengan hipotesis supaya satenya terasa enak. Biasa, strategi penjualan. Hehe..
Kita beranjak ke satenya. Ini dia yang lain dari pada yang lain (yang selama ini pernah saya makan lho ya…). Sate sapi yang kebanyakan orang bilang a lot itu seakan-akan diubah oleh pak Prapto dkk menjadi makanan yang bercitarasa ciamik. Betapa tidak, dagingnya benar-benar tidak ada alot-alotnya sama sekali. Empuk, kenyal, dan yang membuat magic lagi adalah bumbunya sangat meresap ke dalam dagingnya. Wuih, bisa dibayangkan kan seperti apa rasanya. Aneh bin ajaib, dan yang pasti lezat bin nikmat. Satu tusuk sate terdiri dari sekitar 4 potong variasi daging dan jeroan. Disajikan dengan bumbu kacang membuat cita rasa sate sapi ini begitu khas. Keren bin paten lah pokoknya, alias mantab jaya.
Dan malam itu, saya menjadi orang yang beruntung ke-sekian. Karena tilik punya tilik, setelah saya selesai menyantap, tepat stok sate yang dimiliki pak Prapto habis, alias ludes dibeli para pengunjung. Padahal baru jam 8.30 malam. Banyak para pengunjung yang baru datang ketika itu kecewa karena makanan yang sudah dinanti-nanti kehadirannya di lidah mereka tidak jadi mereka santap. Sangat mengecewakan dan disayangkan sepertinya oleh mereka. Warung pak Prapto ini ternyata buka mulai pukul 17.00 dan tutup sampai habis. Yah, berarti hari itu cukup membutuhkan waktu 3 setengah jam untuk menjual habis stok sate sapinya. Waktu yang sangat cepat saya kira untuk usaha sekelas itu.
Bagi yang belum pernah mencoba, kuliner ini sangat recommended karena sensasinya. Sekali lagi, karena sensasinya. Karena kalau mencari kenyangnya, mending ke warung burjo aja. Hehehe. Harganya tidak terlalu mahal juga, satu porsi dibandrol dengan harga 20ribu. Cita rasa sepuluh tusuk sate dengan sepiring lontong sayur rasanya sebanding dengan uang yang harus dikeluarkan. Bahkan, akan menjadi unforgettable moment untuk para pembelinya (lebay yah.. ).
Bagaimana dengan Anda? Berani mencoba? Highly recommended for you!!
Sate sapi. Begitulah Pak Prapto sebagai pemilik usaha ini menyebut produknya. Dari namanya mungkin akan terlihat standar-standar saja. Tapi cukup menarik juga karena biasanya bahan yang digunakan untuk masakan sate adalah daging kambing atau ayam. Berbeda dengan yang satu ini, yaitu dengan menggunakan daging sapi, yang konon sudah banyak orang (termasuk saya) yang mencoba nyate dengan menggunakan daging sapi namun hasilnya tidak karuan. Sate sapi pak Prapto ini ternyata telah mengubah paradigma saya akan ketidakkaruan akan sate sapi ini. Sangat amat super ultra berbeda sekali. Hehehe..
Awalnya saya diajak sepupu saya yang kebetulan sedang melancong ke Jogja untuk mencoba sate sapi ini. Wah, baru dengar saya. Emang enak? Begitulah kalimat yang pertama kali saya lontarkan. Yah, yang namanya saya, kalau sudah penasaran mana bisa ditahan. Ketika itu sepupu saya pun tak tahu lokasi si penjual sate itu, apalagi saya. Hehe. Akhirnya dengan bermodalkan modem superlemot saya searching di mbah google. Ketemulah yang namanya “Sate Sapi Lapangan Karang” atau sering disebut “Sate Karang”. Lokasinya ya di Lapangan Karang. Tepatnya di Jalan Nyi Pembayun, Kota Gede, Yogyakarta. Sempat kesulitan mencari lokasi, akhirnya ketemu juga. Malam itu saya dan sepupu saya langsung menuju lokasi dengan bermodalkan mulut (untuk bertanya dimana lokasinya dan yang pasti, untuk makan..hehe..).
Berkat panduan dari tukang becak setempat, tidak sampai setengah jam, sampailah di lokasi tujuan. Kata pertama yang keluar dari mulut saya, luar. Kata kedua biasa. Jadi luar biasa. (Hehe.. nggak penting ya). Betapa tidak, serame itu. Usaha yang hanya bermodalkan tiga buah gerobak dan beberapa tikar yang tergelar di sekitar gerobak dengan sebuah tenda lumayan besar bisa menghipnotis orang sebanyak itu. Sederhana tapi istimewa.
Yah, tak sabar lagi kami pun memesan masakan khas tersebut. “Masih, tapi ngantri banyak banget”. Jawab si penjual (pak praptonya kayaknya) setelah dilontarkan pertanyaan oleh sepupu saya. Kami pun mau tidak mau harus menunggunya. Yah, demi sesuatu yang baru, bersensasi pula, apa sih yang nggak. Cukup lama menunggu, datanglah tiga piring hidangan utama malam itu. Dua piring ketupat yang diberi sayur, dan satu piring sate sapi yang sudah dinanti-nanti kehadirannya. Dan, betul-betul luar biasa. Enak, enak, enak.
Mari kita analisis satu persatu kelezatannya. Sang ketupat sayurnya, atau lebih kerennya lontong sayur, mungkin tidak beda dengan lontong-lontong yang sering kita jumpai di pinggir-pinggir jalan. Beberapa iris lontong dengan kuah berwarna kuning, ditambah dengan irisan-irisan tempe yang sudah dimasak dengan kuahnya. Namun sedikit beda rasanya, aneh dan bahkan mungkin malah lebih gurih lontong sayur yang biasa kita jumpai. Yang satu ini sedikit tidak berasa bumbunya (karena konon bumbunya seadanya saja). Entah kenapa, namun sepertinya memang sengaja dibuat seperti ini. Dengan hipotesis supaya satenya terasa enak. Biasa, strategi penjualan. Hehe..
Kita beranjak ke satenya. Ini dia yang lain dari pada yang lain (yang selama ini pernah saya makan lho ya…). Sate sapi yang kebanyakan orang bilang a lot itu seakan-akan diubah oleh pak Prapto dkk menjadi makanan yang bercitarasa ciamik. Betapa tidak, dagingnya benar-benar tidak ada alot-alotnya sama sekali. Empuk, kenyal, dan yang membuat magic lagi adalah bumbunya sangat meresap ke dalam dagingnya. Wuih, bisa dibayangkan kan seperti apa rasanya. Aneh bin ajaib, dan yang pasti lezat bin nikmat. Satu tusuk sate terdiri dari sekitar 4 potong variasi daging dan jeroan. Disajikan dengan bumbu kacang membuat cita rasa sate sapi ini begitu khas. Keren bin paten lah pokoknya, alias mantab jaya.
Dan malam itu, saya menjadi orang yang beruntung ke-sekian. Karena tilik punya tilik, setelah saya selesai menyantap, tepat stok sate yang dimiliki pak Prapto habis, alias ludes dibeli para pengunjung. Padahal baru jam 8.30 malam. Banyak para pengunjung yang baru datang ketika itu kecewa karena makanan yang sudah dinanti-nanti kehadirannya di lidah mereka tidak jadi mereka santap. Sangat mengecewakan dan disayangkan sepertinya oleh mereka. Warung pak Prapto ini ternyata buka mulai pukul 17.00 dan tutup sampai habis. Yah, berarti hari itu cukup membutuhkan waktu 3 setengah jam untuk menjual habis stok sate sapinya. Waktu yang sangat cepat saya kira untuk usaha sekelas itu.
Bagi yang belum pernah mencoba, kuliner ini sangat recommended karena sensasinya. Sekali lagi, karena sensasinya. Karena kalau mencari kenyangnya, mending ke warung burjo aja. Hehehe. Harganya tidak terlalu mahal juga, satu porsi dibandrol dengan harga 20ribu. Cita rasa sepuluh tusuk sate dengan sepiring lontong sayur rasanya sebanding dengan uang yang harus dikeluarkan. Bahkan, akan menjadi unforgettable moment untuk para pembelinya (lebay yah.. ).
Bagaimana dengan Anda? Berani mencoba? Highly recommended for you!!