Ada yang salah dengan tatanan Bahasa Jawa?
1:35:00 AM
Yak, akhirnya mood saya menulis di blog muncul juga. Setelah sekian lama tidak berkeliaran di dunia per-blog-an, bukannya saya sudah berhenti menulis, tapi akhir-akhir ini rupa-rupanya saya disibukkan dengan menulis-menulis yang lain. Biasanya banyak orang nyebut BAB I - BAB V, atau dari pendahuluan sampai daftar pustaka. Hee.. =D. Nah sekarang mumpung lagi ada ide dan ada sedikit waktu untuk mencurahkan ide, nampaknya sah-sah saja kalau sejenak kita simak sesuatu yang menurut saya, cukup aneh untuk diperbincangkan.
Hasil obrolan singkat dengan kakak angkatan, "gojek kere" sebut saja begitu. Hingga akhirnya saya teringat ketika masih sekolah di SMP dulu kala ada sebuah "gojek kere" yang gara-gara saya membahasnya jadi kena teguran Bu Guru. Yak, kali ini erat hubungannya dengan pelajaran bahasa daerah. Dan karena saya tinggal di Jawa, jadi bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa. Entah kenapa ada beberapa hal yang sampai sekarang saya masih belum ngeh dan masih menjadi pertanyaan di benak saya mengenai bahasa Jawa, khususnya pada tatanan bahasanya. Pantes saja waktu SMP nilai ulangan Bahasa Jawa tidak pernah lebih dari 60. Hehehe. Hingga akhirnya sekarang bisa juga ya jadi bahan "gojek kere". Haha..
Diawali dengan adanya pola pengubahan dari bahasa ngoko ke bahasa kromo yang ternyata secara konsep perubahan bahasa tersebut hanya merubah suku kata belakang atau tengahnya saja. Seperti misalnya kata "ngerti" kalau dikromokan jadi "ngertos". Terus kata "ngenteni" jadi "ngentosi" (artinya: menunggu). Sehingga saya pun menyimpulkan kalau ada kata yang punya akhiran ada huruf "t"-nya terutama yang bebunyi "ti" atau "te" kalau dikromokan itu tinggal diganti dengan "tos". Akibatnya kata "mati" kromonya "matos" dong? Atau kata "sejati" jadi "sejatos"? nah loh. Contoh lain misalnya, kata yang berakhiran "-ra" akan berubah jadi "-nten". Seperti kata "pangapura" jadi "pangapunten" (artinya: maaf). Kemudian juga kata "kira-kira" jadi "kinten-kinten" dan kata "pira" yang menjadi "pinten" (artinya : berapa). Nah terus kalau kata "sura" jadi "sunten" gitu? Atau kata "santen" sebenarnya dari kata "sara"? Dan masih banyak contoh-contoh lain yang sampai saat ini saya belum ngeh sebenarnya apa konsep dibalik semua itu.
Kedua, menurut saya Bahasa Jawa adalah bahasa yang terlalu banyak kosakatanya. Hal ini ditunjukkan dalam pendefinisian angka dalam Bahasa Jawa. Mari kita berhitung, siji, loro, telu, papat, lima, enem, pitu, wolu, sanga, sepuluh. Setelah itu, sewelas, rolas, telulas, limolas sampai rongpuluh. Normalnya setelah rongpuluh ya rongpuluh siji (dua puluh satu). Kenapa malah jadi selikur, rolikur, dst. Anehnya lagi "dua puluh lima" kenapa jadi "selawe"? Kalau dikromokan malah jadi "selangkung". Logikanya kalau ada "selawe" atau "selangkung" berarti ada ronglawe, telulawe, papat lawe, dst. Tapi istilah-istilah itu belum pernah saya jumpai di vocab Bahasa Jawa.
Kemudian bilangan puluhan dari sepuluh, rongpuluh (dua puluh), telungpuluh (tiga puluh), patangpuluh (empat puluh), terus apa? Lima puluh kenapa jadi sèket? Enam puluh juga jadi sewidak? Kenapa gak limangpuluh atau enempuluh aja? Atau kalau memang harus begitu berarti harusnya ada rongket, telungket, dst. atau rongwidak, telungwidak, dst. dong? Kenapa saya juga belum pernah menjumpai istilah-istilah itu?
Begitulah keanehan-keanehan yang saya sadari hingga akhirnya jadi bahan gojekan. Nah, mungkin secara sadar maupun tidak disadari orang lain pun pernah berfikir seperti ini, bahwa sesungguhnya dibalik semua itu mungkin ada maksudnya atau orang lebih ngeh kalau bertanya filosofinya apa?. Lalu, apa dong?
Yah, apapun itu namanya juga gojek. Tidak usah terlalu difikir, dan tidak usah dimasukan hati. Mending mikirin skripsi, mending berintrospeksi diri. Bahwa sesungguhnya tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena "sempurna" hanya milik Allah dan Andra and the Backbone. hehehe. Justru yang seperti ini menjadikan semakin cinta dengan budaya negeri sendiri. Love Indonesia, love Java. =)
Hasil obrolan singkat dengan kakak angkatan, "gojek kere" sebut saja begitu. Hingga akhirnya saya teringat ketika masih sekolah di SMP dulu kala ada sebuah "gojek kere" yang gara-gara saya membahasnya jadi kena teguran Bu Guru. Yak, kali ini erat hubungannya dengan pelajaran bahasa daerah. Dan karena saya tinggal di Jawa, jadi bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa. Entah kenapa ada beberapa hal yang sampai sekarang saya masih belum ngeh dan masih menjadi pertanyaan di benak saya mengenai bahasa Jawa, khususnya pada tatanan bahasanya. Pantes saja waktu SMP nilai ulangan Bahasa Jawa tidak pernah lebih dari 60. Hehehe. Hingga akhirnya sekarang bisa juga ya jadi bahan "gojek kere". Haha..
Diawali dengan adanya pola pengubahan dari bahasa ngoko ke bahasa kromo yang ternyata secara konsep perubahan bahasa tersebut hanya merubah suku kata belakang atau tengahnya saja. Seperti misalnya kata "ngerti" kalau dikromokan jadi "ngertos". Terus kata "ngenteni" jadi "ngentosi" (artinya: menunggu). Sehingga saya pun menyimpulkan kalau ada kata yang punya akhiran ada huruf "t"-nya terutama yang bebunyi "ti" atau "te" kalau dikromokan itu tinggal diganti dengan "tos". Akibatnya kata "mati" kromonya "matos" dong? Atau kata "sejati" jadi "sejatos"? nah loh. Contoh lain misalnya, kata yang berakhiran "-ra" akan berubah jadi "-nten". Seperti kata "pangapura" jadi "pangapunten" (artinya: maaf). Kemudian juga kata "kira-kira" jadi "kinten-kinten" dan kata "pira" yang menjadi "pinten" (artinya : berapa). Nah terus kalau kata "sura" jadi "sunten" gitu? Atau kata "santen" sebenarnya dari kata "sara"? Dan masih banyak contoh-contoh lain yang sampai saat ini saya belum ngeh sebenarnya apa konsep dibalik semua itu.
Kedua, menurut saya Bahasa Jawa adalah bahasa yang terlalu banyak kosakatanya. Hal ini ditunjukkan dalam pendefinisian angka dalam Bahasa Jawa. Mari kita berhitung, siji, loro, telu, papat, lima, enem, pitu, wolu, sanga, sepuluh. Setelah itu, sewelas, rolas, telulas, limolas sampai rongpuluh. Normalnya setelah rongpuluh ya rongpuluh siji (dua puluh satu). Kenapa malah jadi selikur, rolikur, dst. Anehnya lagi "dua puluh lima" kenapa jadi "selawe"? Kalau dikromokan malah jadi "selangkung". Logikanya kalau ada "selawe" atau "selangkung" berarti ada ronglawe, telulawe, papat lawe, dst. Tapi istilah-istilah itu belum pernah saya jumpai di vocab Bahasa Jawa.
Kemudian bilangan puluhan dari sepuluh, rongpuluh (dua puluh), telungpuluh (tiga puluh), patangpuluh (empat puluh), terus apa? Lima puluh kenapa jadi sèket? Enam puluh juga jadi sewidak? Kenapa gak limangpuluh atau enempuluh aja? Atau kalau memang harus begitu berarti harusnya ada rongket, telungket, dst. atau rongwidak, telungwidak, dst. dong? Kenapa saya juga belum pernah menjumpai istilah-istilah itu?
Begitulah keanehan-keanehan yang saya sadari hingga akhirnya jadi bahan gojekan. Nah, mungkin secara sadar maupun tidak disadari orang lain pun pernah berfikir seperti ini, bahwa sesungguhnya dibalik semua itu mungkin ada maksudnya atau orang lebih ngeh kalau bertanya filosofinya apa?. Lalu, apa dong?
Yah, apapun itu namanya juga gojek. Tidak usah terlalu difikir, dan tidak usah dimasukan hati. Mending mikirin skripsi, mending berintrospeksi diri. Bahwa sesungguhnya tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena "sempurna" hanya milik Allah dan Andra and the Backbone. hehehe. Justru yang seperti ini menjadikan semakin cinta dengan budaya negeri sendiri. Love Indonesia, love Java. =)
4 comments
dalam bahasa sunda juga ada istilah seperti itu..
ReplyDeletekalo dalam bahas sunda
ngantosan (sunda)- ngantosi(jawa) = menunggu
hampura (sunda)- ngantosi(jawa) = maaf
kinten-kinten (sunda)- kinten-kinen(jawa) = kira-kira
dulu mbahku bilang 11 itu setunggal welas
ReplyDeleteBahasa memang ada sebagian yg tidak bisa dilogikas mas, itu sudah ditemukan dan dipakai orang jaman dahulu. Kalo kita ya nurut2 aja yang penting itu sopan dan bisa dipakai ngomong ke orang yg lebih tua. Sekian matur suwun dulur2
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete