Petualangan masak-memasak di rumah (dormitory, red)
merupakan hal yang tak akan pernah habisnya. Pasalnya, orang mana yang tidak
butuh makan setiap harinya? Jelas saja sebagai manusia biasa saya (dan mereka)
membutuhkan makanan setiap hari. Dan satu-satunya cara yang paling efektif
untuk mengatasi rasa lapar adalah dengan memasak makanan tersebut by our self. Ya, maklum anak rantauan,
harus pintar berhemat. Eh, tapi bukan berarti pelit loh.
Giliran hari ini entah datang angin dari mana, tiba-tiba
fikiran saya hanya ada kentang, kentang, dan kentang. Dan makanan yang identik
dengan kentang yang terlihat simpel buatnya (walaupun hanya terlihat,
kenyataanya tidak) adalah, terejreng . . . perkedel. Yap, makanan berbentuk
bulat bulat berwarna kecoklatan yang berbahan dasar kentang. Semua orang
Indonesia seharusnya tau.
Mungkin karena perasaan “ngidam” dan rasa penasaran yang
besar yang membuat kenapa otak jadi tergila-gila dengan perkedel. Tergila-gila ingin
ngejajal bagaimana makananyang
kelihatan simpel itu cara membuatnya. Sampai pada akhirnya berbagai cara telah
dilakukan hanya untuk merealisasikan hal itu terwujud. Tanya sana sini, cari
resepnya, sampai mal praktek dilakukan. Yah, namanya saja belajar. Gak kotor
gak belajar kan? =D
Setelah mendapatkan hipotesis resepnya, pagi itu dicobalah
resep perkedel ala abal-abal. Sebenarnya ini adalah percobaan ke dua, dimana
sebelumnya pernah dicoba namun gagal total. Ternyata setelah dievaluasi ada
satu bahan yang kurang. Dan berbekal evaluasi tersebut saya niatkan kembali
untuk membuatnya, tentunya dengan bahan yang lebih lengkap. Waktu itu tepung
terigu lah yang belum masuk daftar bahan resep. Sehingga di percobaan yang
kedua ini saya tidak boleh jatuh di lubang yang sama, disiapkanlah tepung
terigu.
Glotak glotak glotak. Sudah siaplah semua bahan dan sudah di
olah. Tinggal digoreng. Dengan hati sedikit berbunga-bunga (walaupun tau belum
tentu berhasil), dicobalah satu biji perkedel untuk digoreng. Yap, tidak ada
tanda-tanda akan gagal yang telah ditunjukkan di percobaan pertama sebelumnya beberapa
hari silam tersebut. Akibatnya semakin berbunga-bunga hati ini.
Namun, petaka muncul di percobaan kedua. Entah apanya yang
salah, proses menggorengnya pun sama dengan percobaan yang sama, namun hasil
yang ditunjukkan di percobaan kedua ini berbeda. Ditandai dengan minyak diatas
wajan yang mulai mengeluarkan busa-busa tak jelas. Firasat saya sudah mulai
tidak enak nih. Benar ternyata, adonan kentang yang sudah halus pada percobaan
kedua ini kurang menyatu sehingga tercecer tumpah ke penggorengan. Persis seperti pada
percobaan pertama. Gagal lagi gagal lagi. Pikiran pun mulai kacau mencari-cari
alasan kenapa bisa gagal.
Setelah semua adonan tergoreng, yah, ada lah beberapa yang good looking. Lumayan dari pada lu manyun. Ujung-ujungnya juga habis
dimakan. Selanjutnya adalah menggoreng tahu. Dan karena minyak yang telah
dipakai untuk perkedel berubah hitam, saya niatkan untuk mengganti minyaknya
dengan yang baru. Tapi sayang kalau minyak yang telah dipakai itu dibuang. Sehingga
mending disimpan saja.
Namun, boro-boro mau disimpan, mungkin karena pikiran yang
masih kacau, saya salah ambil tempat untuk menyimpan minyak. Sudah tau
minyaknya abis dipakai goring, pasti
panas banget lah. Sebuah mangkuk yang
terbuat dari plastik agak tipis saya siapkan untuk menyimpan minyak tersebut. Dan,
cesssss, sesaat setelah menuangkan
minyak ke dalam mangkuk bunyi aneh itu muncul. Bagian dasar mangkuk lumer
karena panasnya minyak. Yak, dan minyak pun tercecer kemana-mana. Hwaaaaa, bubrah kabeh. TT
Betul-betul nambah-nambahin kerjaan aja. Ternyata perkedel yang terlihat begitu simple, justru
sebaliknya. Saya harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk sekedar mencoba. Harus berlama-lama
membuat gilingan adonan. Harus bersusah-susah menggoreng. Dan yang terakhir,
harus ber”suka ria” membersihkan tumpahan minyak. Yah, namanya juga
belajar. Nggak kotor ya nggak
belajar, betul?? (^^,)