Paham, apa makna dibalik sebuah kata tersebut? Simpel, namun bagi saya begitu kompleks. Alasannya? Karena cukup sulit untuk bisa menggapai kata tersebut. Tahu saja tidak cukup, butuh paham untuk menyikapinya.
Ada sedikit kasus menarik yang mungkin akan memberikan beberapa alasan kenapa kata tersebut begitu kompleks. Kasus ini baru saja terjadi beberapa bulan yang lalu (dan sepertinya masih terjadi sampai sekarang). Mungkin akan ada beberapa sensor karena menyangkut hal-hal berbau ghibah. Menghindari kemudhorotan. Hehehe.
Kita sebut saja kasus ini dengan #pemahaman. Pemahaman akan suatu hal yang akhir-akhir ini saya alami. Mungkin ini berawal dari terlalu banyaknya saya melihat berbagai warna. Warna yang muncul di setiap permukaan di mana saya terlibat. Betapa tidak, faktor lingkungan mungkin sedikit banyak mempengaruhi #pemahaman seseorang. Contoh simpelnya ya saya ini. Dari hitam sampai putih, dari gelap sampai terang pernah saya jumpai semua (eh kayaknya belum semua, masih banyak yang belum pernah terjamah). Ya, setidaknya mempengaruhi kekomplekisitas tersebut.
Setiap orang tidak mempunyai pemahaman yang sama akan semua hal. Itu benar. Namun tidak setiap orang mempunyai pemahaman yang sama akan suatu hal. Contohnya seperti #pemahaman ini. Segelintir orang menyikapi #pemahaman dengan A. Segelintir yang lain menyikapinya dengan B. Namun juga ada beberapa yang menyikapinya dengan C. Sehingga dimungkinkan semakin banyak kepala semakin banyak cara orang menyikapi sebuah pemahaman. Akan tetapi seberapa banyak pun cara, tentunya ada yang paling baik. Dan sebagai orang yang termasuk dalam golongan (golongan putih, red) harusnya percaya akan hal ini. Termasuk saya.
Perjalanan menuju dewasa dengan liku-liku yang ada yang telah saya tempuh, ternyata belum cukup untuk menemukan sebuah kebenaran akan #pemahaman. Mungkin terlalu banyak liku-liku atau apalah namanya yang membuat #pemahaman saya belum cukup. Sehingga, rasa penasaran, pasti ya, mungkin tak akan terhenti sampai kebenaran itu ditemukan."Apa yang kamu yakini, itulah yang benar". Lah kalau meyakini sesuatu yang salah apa bisa disebut benar? Itulah kenapa proses mencari kebenaran itu butuh energi ekstra (bagi saya sih, tidak tahu bagi yang lain).
Perbedaan lingkungan, jelas sangat mempengaruhi. Mempengaruhi bagaimana mereka menyikapi #pemahaman ini. Dan inilah satu alasan lagi mengapa proses mencari kebenaran itu begitu panjang mengingat saya adalah makhluk amfibi. Hehehe.
Bagaimana pun tetap, pasti ada kebenaran tersebut. Sampai akhirnya penyikapan terhadap #pemahaman menemui ujungnya. Bukankah diantara yang baik-baik pasti ada yang terbaik? Begitu pula yang buruk-buruk, pasti ada juga yang terbaik. Dan meskipun itu terbaik menurut golongan mereka, belum tentu itu terbaik bagi golongan yang lain. Namun tetap juga, diantara yang terbaik-terbaik, pasti ada terbaik global. Teoremanya, kalau ada maksimum lokal, pasti ada maksimum global kan? Hehehe. Sehingga mungkin orang yang pada taraf terbaik global inilah yang mendapat kebenaran tersebut. Kebenaran yang pada akhirnya kita sebut orang yang paham. Termasuk dalam #pemahaman ini.
Pada taraf sekarang ini mungkin saya belum menemukan kata paham terhadap #pemahaman tersebut. Namun setidaknya kini saya telah diingatkan (terimakasih untuk yang telah memperingatkan =)). Diingatkan sehingga proses pencarian kebenaran tersebut terus berlanjut. Proses menuju paham iis must go on. Proses menuju sebuah kebenaran yang hakiki oleh golongan kita, golongan putih.
Dan pada akhirnya, hanya tahu saja tidak cukup, butuh paham untuk bersikap. Sebagai golongan putih bukankah kita dituntut untuk menjadi golongan yang kaffaah? Golongan yang sempurna dalam pemahamannya. Golongan yang selalu mencari terbaik global dalam setiap pemahamannya. Golongan yang selalu punya kebenaran yang mutlak.
Pahami dan yakini. InsyaAllah. =)
Ada sedikit kasus menarik yang mungkin akan memberikan beberapa alasan kenapa kata tersebut begitu kompleks. Kasus ini baru saja terjadi beberapa bulan yang lalu (dan sepertinya masih terjadi sampai sekarang). Mungkin akan ada beberapa sensor karena menyangkut hal-hal berbau ghibah. Menghindari kemudhorotan. Hehehe.
Kita sebut saja kasus ini dengan #pemahaman. Pemahaman akan suatu hal yang akhir-akhir ini saya alami. Mungkin ini berawal dari terlalu banyaknya saya melihat berbagai warna. Warna yang muncul di setiap permukaan di mana saya terlibat. Betapa tidak, faktor lingkungan mungkin sedikit banyak mempengaruhi #pemahaman seseorang. Contoh simpelnya ya saya ini. Dari hitam sampai putih, dari gelap sampai terang pernah saya jumpai semua (eh kayaknya belum semua, masih banyak yang belum pernah terjamah). Ya, setidaknya mempengaruhi kekomplekisitas tersebut.
Setiap orang tidak mempunyai pemahaman yang sama akan semua hal. Itu benar. Namun tidak setiap orang mempunyai pemahaman yang sama akan suatu hal. Contohnya seperti #pemahaman ini. Segelintir orang menyikapi #pemahaman dengan A. Segelintir yang lain menyikapinya dengan B. Namun juga ada beberapa yang menyikapinya dengan C. Sehingga dimungkinkan semakin banyak kepala semakin banyak cara orang menyikapi sebuah pemahaman. Akan tetapi seberapa banyak pun cara, tentunya ada yang paling baik. Dan sebagai orang yang termasuk dalam golongan (golongan putih, red) harusnya percaya akan hal ini. Termasuk saya.
Perjalanan menuju dewasa dengan liku-liku yang ada yang telah saya tempuh, ternyata belum cukup untuk menemukan sebuah kebenaran akan #pemahaman. Mungkin terlalu banyak liku-liku atau apalah namanya yang membuat #pemahaman saya belum cukup. Sehingga, rasa penasaran, pasti ya, mungkin tak akan terhenti sampai kebenaran itu ditemukan."Apa yang kamu yakini, itulah yang benar". Lah kalau meyakini sesuatu yang salah apa bisa disebut benar? Itulah kenapa proses mencari kebenaran itu butuh energi ekstra (bagi saya sih, tidak tahu bagi yang lain).
Perbedaan lingkungan, jelas sangat mempengaruhi. Mempengaruhi bagaimana mereka menyikapi #pemahaman ini. Dan inilah satu alasan lagi mengapa proses mencari kebenaran itu begitu panjang mengingat saya adalah makhluk amfibi. Hehehe.
Bagaimana pun tetap, pasti ada kebenaran tersebut. Sampai akhirnya penyikapan terhadap #pemahaman menemui ujungnya. Bukankah diantara yang baik-baik pasti ada yang terbaik? Begitu pula yang buruk-buruk, pasti ada juga yang terbaik. Dan meskipun itu terbaik menurut golongan mereka, belum tentu itu terbaik bagi golongan yang lain. Namun tetap juga, diantara yang terbaik-terbaik, pasti ada terbaik global. Teoremanya, kalau ada maksimum lokal, pasti ada maksimum global kan? Hehehe. Sehingga mungkin orang yang pada taraf terbaik global inilah yang mendapat kebenaran tersebut. Kebenaran yang pada akhirnya kita sebut orang yang paham. Termasuk dalam #pemahaman ini.
Pada taraf sekarang ini mungkin saya belum menemukan kata paham terhadap #pemahaman tersebut. Namun setidaknya kini saya telah diingatkan (terimakasih untuk yang telah memperingatkan =)). Diingatkan sehingga proses pencarian kebenaran tersebut terus berlanjut. Proses menuju paham iis must go on. Proses menuju sebuah kebenaran yang hakiki oleh golongan kita, golongan putih.
Dan pada akhirnya, hanya tahu saja tidak cukup, butuh paham untuk bersikap. Sebagai golongan putih bukankah kita dituntut untuk menjadi golongan yang kaffaah? Golongan yang sempurna dalam pemahamannya. Golongan yang selalu mencari terbaik global dalam setiap pemahamannya. Golongan yang selalu punya kebenaran yang mutlak.
Pahami dan yakini. InsyaAllah. =)